Sunday, April 17, 2016
Kisah Wali Songo "Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim"
1. Satria Mega Pethak
Siang yang terik. Matahari memanggang bumi
yang gersang di desa Tanggulangin.Dari ujung desa nampak serombongan orang
berkuda bersorak-sorai meneriakkan kata-kata kasar dan kotor. Mereka memacu kudanya dengan
kecepatan tinggi.Penduduk desa, terutama wanita dan anak-anak
yang berada di luar rumah, langsung berteriak ketakutan dan masuk ke dalam rumah
masing-masing ketika melihat gerombolan orang berkuda itu memasuki jalanan desa.
Gerombolan orang berkuda itu ada sekitar dua
puluh orang, terus memacu kudanya hingga ketengah-tengah perkampungan penduduk.Dua
orang berada di barisan terdepan mengangkat tangannya tinggi-tinggi sebagai pertanda agar
mereka yang dibelakangnya berhenti.
Agaknya dua orang yang berada paling depan
itu adalah pemimpinnya. Yang pertama tubuhnya tinggi besar, berewokan, ada membawa tanda
tentara kerajaandi dadanya namun tanda itu dikenakan enaknya saja tanpa mengindahkan
aturan satuan pasukan. Yang seorang lagi bertubuh sedang bahkan agak kurus, namun
pakaiannyalebih bersih dan rapi. Hanya saja pakaian yang dikenakannya adalah pakaian
biasa pakaian para petani perdesaan.
Delapan belas orang di belakang lebih parah
lagi. Potongan mereka memang seperti prajurit kerajaan, tapi cara berpakaian mereka sudah
tidak keruan.
“Hai penduduk Tanggulangin!” teriak si tinggi
besar dan berewokan dengan kerasnya.” Aku Julung Pujud ! Kuperintahkan kalian
menyerahkan harta benda yang kalian punyai di pelataran rumah masing-masing. Jika tidak ! Seluruh
desa ini akan kuratakan dengan tanah, kubakar habis rumah kalian !”
Tak ada reaksi maupun jawaban. Rumah para
penduduk tetap tertutup rapat. Tak seorangpun berani menampakkan diri.
Wajah si penunggang kuda berpakaian petani
nampak murung mendengar ucapan orang yang menyebut dirinya Julung Pujud itu. Namun dia
hanya dapat menghela nafas panjang.
“Sampai kapan ini akan berlangsung ……….?” Gumannya
lirih.
Sebenarnya aku sudah muak melakukannya.”
“Hei, Tekuk Panjalin !
“Tegur Julung Pujud.”
Kau barusan bicara apa ?”
“Tidak apa-apa, “Sahut Tekuk Panjalin.
” Tak
usah dihiraukan.
“Jangan macam-macam,” tukas Julung Pujud.
”
Kita harus melakukannya. Terus melakukannya hingga harta kita terkumpul banyak dan
nantinya dapat kita gunakan untuk bersenang-senang hingga tujuh turunan .”
Orang yang disebut Tekuk Panjalin hanya
berdiam diri.
Beberapa saat kemudian, karena tak ada jawaban dari penduduk setempat. Wajah
Julung Pujud nampak merah padam.
“Kurang ajar !” Bentaknya marah.
” Di desa
manapun orang akan membungkuk-bungkuk dan menyembah kakiku jika mendengar namaku
disebut. Tapi kalian penduduk Tanggulangin tidak memandangku sebelah mata.
Baik ! Kalian
memang perlu diberi pelajaran!”
Ia menoleh kepada anak buahnya yang berada di
belakangnya.
“Nyalakan obor !” Perintahnya.
“Bakar semua
rumah desa ini !”
Beberapa orang segera turun dari kuda untuk
menyalakan obor yang sudah mereka siapkan.Lalu naik lagi ke atas kuda.beberapa rekannya
yang lain tinggal menyulutkan api pada obor itu.
Dalam tempo singkat tiga belas orang itu
sudah memegang obor menyala di tangan kanan.Sementara tangan kirinya tetap memegang
kendali kuda.
Kini mereka mulai mendekati rumah-rumah
penduduk. Siap menyulutkan api ke dinding-dinding rumah yang terbuat dari kayu dan beratapkan
ilalang.
Sepasang mata Julung Pujud tiba-tiba menatap
lurus ke arah sebuah bangunan aneh. Sebuah rumah terbuat dari dinding kayu beratapkan
genteng. Nampaknya baru saja didirikan di sebelah barat pusat perkampungan. Sepasang matanya
yang tajam dapat melihat sekelompok orang sedang duduk bersila dengan mulut komat
kamit.
Julung Pujud segera mendekati bangunan baru
itu. Sepertinya Sanggar Pemujaan. Tapi makin dekat hatinya makin yakin jika bangunan itu
bukan tempat beribadahnya orang-orang beragama Hindu maupun Budha.
Tepat pada saat itu orang yang duduk di
bagian paling depan mengorak sila, berdiri dan mengajak orang-orang yang berada di
belakangnya untuk keluar menemui Julung Pujud.
“Hoooo ! Jadi kalian berkumpul dan
bersembunyi di tempat ini. Apa yang kalian rundingkan.
Mau melawanku ?” tanya Julung Pujud dengan
suara mengejek.
Seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun
maju menghampiri Julung Pujud yang masih duduk di atas kudanya. Wajahnya bersih
bercahaya. Kepalanya dibungkus dengan kain putih hingga sebagian rambutnya tak kelihatan
kecuali di dekat pelipis dan telinga.
“Ki Julung Pujud !” tegur pemuda itu dengan
suara mantap.
” Sudah lama kudengar nama dan sepak terjangmu !
Sungguh sangat kebetulan
sekali sekarang dapat bertemu denganmu. Mana anak buahmu ?”
Julung Pujud mendelik. Hampir saja sepasang
matanya meloncat keluar saking marahnya. Baru kali ini ada seorang penduduk berani berkata
seperti itu kepada dirinya.
Biasanya mereka tak berani menatap wajahnya,
menunduk bahkan menyembah-nyembah.
“Edan ! Gila !” umpatnya keras-keras.
“Lancang
sekali mulutmu anak muda. Sudah bosan hidup rupanya. Katakan kaukah yang mengumpulkan
para penduduk untuk bersembunyi di tempat ini?”
Pemuda itu malah menatap lekat kearah Julung
Pujud. Lalu ganti ke arah lelaki di sampingnya yaitu Tekuk Penjalin yang lebih suka berdiam
diri dan nampaknya lebih tenang.
Tak ada rasa takut maupun gentar. Julung
Pujud benar-benar merasa dilecehkan.
Ki Julung Pujud ! Sebagian orang memang takut
kepadamu. Terutama wanita yang lemah dan anak-anak. Tetapi tadi kami berkumpul di
surau bukannya bersembunyi. Melainkan sedang mengerjakan shalat dhuhur !” jawab pemuda
tampan itu.
Julung Pujud menoleh ke arah Tekuk Penjalin
yang tetap berdiam diri namun sepasang matanya menatap tajam-tajam ke arah si pemuda.
“Hem, akhirnya kita ketemu macan juga
rupanya, “Guman Tekuk Penjalin lirih.
“Macan ?” tukas Julung Pujud. “Masih perlu
dibuktikan lagi, apakah dia seekor macan atau sekedar kucing buduk dan anjing kurap yang
biasanya Cuma mengonggong !”
“Buktikanlah ! sahut Tekuk Penjalin tanpa
basa basi.
“Baik, panggil anak buah kita supaya dapat
menyaksikan bagaimana caranya aku menggebuk anjing muda-muda ini supaya lari
terkaing-kaing !” kata Julung Pujud sembari melompat dari atas kuda dan langsung hinggap di hadapan si
pemuda tampan.
Tekuk Penjalin memutar kudanya dan segera
memacu ke arah anak buahnya yang sudah bersiap-siap hendak membakar rumah-rumah
penduduk.
"Cepat berkumpul. Buang obor kalian ! Kita
bakal menyaksikan pertandingan menarik!” teriak Tekuk Penkalin begitu melihat anak buahnya.
Maka delapan belas orang berkuda itu segera
mengikuti langkah kaki kuda Tekuk Penjalin untuk menuju ke tempat Julung Pujud sedang
berhadapan dengan si pemuda tampan.
“Anak muda !” hardik Julung Pujud.” Sebelum
nyawamu lepas dari badan. Katakan siapa namamu supaya orang-orangku mengetahui bahwa
pernah ada seorang anak muda berani cobacoba melawanku, dan akhirnya bernasib sial !”
“Namaku Ghafur ! Tetapi lidah orang-orang
jawa memanggilku Gapur. Kuperingatkan kepadamu, tinggalkan dunia kejahatan, jadilah
orang baik-baik sebelum terlambat !”
“Hoo! Jadi namamu Kapur ?” ejek Julung Pujud”
Pantas wajah dan kulitmu putih seperti mayat. Dan memang kau akan segera jadi mayat
!”
Tepat pada saat itu Tekuk Penjalin datang
bersama tiga belas orang anak buahnya.
“Hem,” ujar Tekuk Penjalin. “Jadi kaupun
ikut-ikutan jadi anjing, Pujud ? Apakah kaupun hanya akan mengajak anak muda itu untuk
saling mengonggong ?”
Julung Pujud melirik ke arah Tekuk Penjalin
dengan hati mendongkol.
“Penjalin ! Aku hanya sekedar mengisi waktu
untuk menunggu kedatanganmu !” ujarnya pedas.
“Nah, mulai meraung lagi. Kenapa tidak lekas
kau bikin modar anak muda itu ?” tukas Tekuk Penjalin.
Sementara itu pemuda bernama Gafur segera
melipat lengan bajunya yang panjang.
Agaknya pertarungan antaranya dengan Julung
Pujud tak bisa dihindarkan lagi.
‘sebenarnya aku paling benci menggunakan
kekerasan. Tapi kepala kalian memang kepala batu yang patut dipukul dengan tangan besi !” ujar
Gafur.
“Hiaaaaat !” Tanpa basa basi lagi karena malu
terus diejek Tekuk Penjalin, lelaki berewokan itu menerjang maju ke arah Gafur. Sepasang
tangannya membentuk cakar rajawali di arahkan ke wajah Gafur yang putih bersih.
Semua orang, terutama para pendududk desa
yang berdiri di belakang Gafur berteriak kaget.Sebab Gafur sepertinya tak bereaksi, hanya
diam saja, Seolah membiarkan Julung Pujud menampar dan mencakar wajahnya begitu saja.
“Plak ! Dess !” ternyata tidak. Begitu jarak
serangan tinggal sekilan (kurang lebih 10 cm) Gafur menangkis tangan yang hendak mencengkeram
wajahnya bahkan langsung balik mengirim serangan dengan menendang dada Julung Pujud.
Julung Pujud mengaduh kesakitan dengan tubuh
terdorong ke belakang beberapa langkah. Dadanya terasa bagai di hantam palu godam
puluhan kilo. Benar-benar kecele.
Sudah diperhitungkan, melihat keberanian si
pemuda tentulah Gafur itu mempunyai sedikit kepandaian. Tapi sungguh tak disangkanya jika
kepandaian ilmu silat si pemuda demikian tingginya sehingga sekali gebrak dia dibikin
mundur sempoyongan dengan dada ampek.
Tadinya ia berharap akan meringkus pemuda itu
dengan sekali serangan saja. Itu sebabnya dia langsung mengerahkan jurus Rajawali Sakti
tingkat ke delapan belas. Dia ingin mencengkeram dan langsung memutar leher Gafur, sekali
pelintir putuslah nyawa pemuda itu.
Tapi siapa sangka keadaan jadi terbalik.
Justru dia yang terkena tendangan telak. Kini dengan wajah merah padam Julung Pujud langsung
mencabut golok di pinggangnya. Dan dengan teriakan mengguntur dia merangsak lagi ke
depan. Menebaskan goloknya ke arah perut Gafur.
Namun dengan mudahnya pemuda itu berkelit ke
sana kemari.
Semua serangan Julung Pujud hanya mengenai
tempat kosong. Keringat dingin segera membasahi wajahnya. Ia merasa malu dan
penasaran. Tekuk Penjalin juga merasa terkejut.
Dia adalah seorang pendekar kawakan. Belum
pernah dia melihat kecepatan gerak seorang pesilat seperti Gafur. Ia terus memperhatikan
cara-cara Gafur mengelak dan balas menyerang.
Akhirnya dia dapat menyimpulkan ciri khas
dari ilmu silat yang dimiliki pemuda itu.
“Lembu Sekilan ………. ?” teriaknya agak ragu.
Julung Pujud yang mendengar teriakan Tekuk
Penjalin terkejut sekali. Lembu Sekilan adalah ilmu tingkat tinggi. Tak sembarang orang
mampu mempelajari ilmu itu. Tapi Gafur yang berusia semuda itu sudah menguasainya dengan baik.
Sehingga setiap serangan yang dilancarkan tidak akan pernah menyentuhnya. Selalu berjarak
kurang dari sekilan dari sasaran. Tiga puluh jurus telah berlalu. Selama ini Gafur lebih banyak
mengalah. Ia lebih sering mengelak atau menangkis, hanya sesekali balas menyerang
dengan tenaga biasa.
Sementara Julung Pujud sangat bernafsu
merobohkan atau membunuh pemuda itu dengan seluruh kemampuan yang ada. Ia telah
mengerahkan semua ilmunya. Baik ilmu yang dipelajarinya dari satuan pasukan elite
Majapahit maupun ilmu kotor dengan jurus-jurus keji yang penuh gerak tipuan. Semua itu ternyata
tak mampu dipergunakan untuk menyentuh tubuh Gafur.
“Dasar tak tahu diri !” tiba-tiba Tekuk
Penjalin angkat bicara. “Kalau mau sebenarnya dia sudah mampu mencabut nyawamu sejak tadi !”
Julung Pujud makin panas mendengar ejekan
rekannya itu. Tekuk Penjalin memang selalu jadi saingannya dalam segala hal. Ilmu mereka
berimbang tapi Tekuk Penjalin nampak lebih tenang dan penuh perhitungan. Tak gampang terbawa
arus nafsu amarah yang merusak segala pertimbangan akal sehat. Kini Julung Pujud
menyerang Gafur dengan membabi buta. Hingga suatu ketika Gafur merasa sudah saatnya
memberikan pelajaran kepada pemimpin gerombolan perampok itu.
“Trang ! Desss ! Desss !”
Saat itu Julung Pujud membacokan goloknya ke
arah kepala Gafur. Gafur menangkis dengan tangan kirinya. Semua orang terkejut. Mengira
tangan Gafur yang bakal putus dibabat golok itu.
Ternyata justru golok itulah yang patah
menjadi dua. Dan sebelum hilang rasa terkejutnya, Julung Pujud tahu-tahu merasa perutnya kena
tendangan teramat keras dari sepasang kaki Gafur yang dilancarkan secara beruntun. Tubuh
Julung Pujud terjungkal ke belakang dengan
terjembab ke tanah dengan keras sekali.
Mulutnya mengeluarkan darah segar. Nafasnya terengah-engah. Tiga belas anak buahnya hanya
memandanginya dengan bengong, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Goblok !” umpatnya dengan nafas tersenggal.
“Mengapa
kalian diam saja. Cepat serbu bangsat itu ! Bunuh dia !”
Tiga belas prajurit itu langsung turun
dari kudanya masing-masing. Dengan menghunus golok di tangan mereka menyerbu ke arah
Gafur.
Namun puluhan penduduk yang tadinya hanya
berdiri di belakang Gafur segera mengambil senjata seadanya. Dan mereka segera menyerbu
ke arah kawanan perampok yang hendak mengeroyok Gafur.
Ternyata ada beberapa pemuda desa yang telah
mempunyai kepandaian ilmu silat. Dan cukup membuat kawanan rampok itu repot meladeni
serangannya. Belum lagi puluhan penduduk yang menyerang dengan nekad dengan senjata parang,
golok, tombak, cangkul, tongkat penumbuk
padi, lemparan batu dan sebagainya.
Selama menjarah desa puluhan kali belum
pernah kawanan rampok itu mendapat perlawanan sesengit ini. Biasanya para penduduk desa
sudah mengkeret begitu mendengar gertakan mereka. Tak ada yang berani melawan.
Apa yang dikatakan Tekuk Penjalin bahwa
mereka sedang bertemu dengan macan rupanya benar-benar menjadi kenyataan. Seluruh
penduduk desa Tanggulangin agaknya telah berubah menjadi sekawanan harimau terluka. Siap
menerkam siapa saja yang coba-coba mengusik
ketenangannya. Julung Pujud melangkah
tertatih-tatih ketepian. Menjauhi pertempuran. Mendekati kudanya yang ditambatkan pada
sebatang pohon sawo. Sementara Tiga belas
anak buahnya bertarung sengit dengan puluhan
penduduk desa. Tekuk Penjalin langsung meloncat ke depan Gafur.
“Senang sekali bertemu denganmu anak muda.”
Katanya dengan wajah berseri-seri.
“Sudah lama sekali aku tak bertemu lawan
tangguh yang dapat mengimbangi ilmuku.”
Habis berkata demikian dia langsung
melancarkan serangan dari jarak jauh.
Serangkum hawa panas meluncur ke dada Gafur.
Pemuda itu, sudah merasakan kesiuran angin sebelum tenaga dalam yang dilancarkan Tekuk
Penjalin mengenai tubuhnya. Cepat ia membaca
beberapa ayat Al-Qurán. Kedua telapak
tangannya dibentangkan lebar-lebar untuk menangkis.
“Wesssss .......... ! Hiaaaaat ! Tap !”
Cerdik sekali Tekuk Penjalin. Ia sudah
menduga serangannya bakal membalik. Maka dia meloncat tinggi-tinggi ke arah pohon mangga.
Dan hinggap disalah satu dahannya. Gafur memandangnya sejenak. Kemudian menoleh ke
arah penduduk desa yang sedang bertempur melawan kawanan perampok. Ia mengerutkan
dahi. Buas dan brutal sangat cara para perampok itu bertempur. Beberapa penduduk berhasil
dilukainya, bahkan ada lima orang penduduk yang sudah roboh di atas tanah dengan luka parah
terbabat golok.
“Aku tak bisa membiarkan ini terjadi.”
Gumannya lirih. Lalu meloncat ke arah Tekuk Penjalin yang masih tertengger diatas dahan pohon
mangga.
Tanpa diduga tiba-tiba Tekuk Penjalin
menyambitkan sebuah daun ke arahnya. Gafur berjumpalitan di udara beberapa kali untuk
menghindari daun mangga yang meluncur bagai sebatang anak panah.
“Tasss ! Jreppp !”
Gafur berhasil menghindari sembitan daun
mangga yang telah diisi dengan tenaga sakti. Daun itu mengenai batang pohon pisang di
sebelahnya, tembus dan meluncur lagi ke arah batang pohon kelapa. Amblas dan menancap di batang
pohon kelapa itu.
Gafur bergidik ngeri. Bagaimanakah jika daun
itu mengenai tubuhnya ?
Nalurinya berkata lawannya kali ini bukan
sembarang orang. Melainkan lawan tangguh yang mempunyai ilmu sangat tinggi. Ia sudah
berhasil hinggap di salah satu dahan pohon mangga, tepat diseberang Tekuk penjalin.
“Ki Tekuk Penjalin, andika seorang pendekar
perkasa, “Tegur Gafur dengan sopan sekali.
“Mengapa harus berloncatan ke dahan pohon
seperti tupai ? Mari kita tuntaskan pertarungan ini di atas tanah.”
“Kau takut bertempur di atas pohon ? Ejek
Tekuk Penjalin.
“Andika salah sangka. Saya hanya tidak mau
merusak pohon ini tanpa suatu alasan yang benar.
Kasihan penduduk desa yang telah menanamnya
dengan susah payah selama puluhan tahun”
ujar Gafur dengan suara datar.
Tekuk Penjalin melangak. Hanya sebatang pohon
mangga. Pemuda itu demikian menghargainya. Ia merasa malu karena selama
bertahun - tahun membunuh dan memperlakukan manusia bagaikan barang yang
tidak berharga.
“Baiklah, kuturuti apa maumu !” kata Tekuk
Penjalin sembari melayang turun. Dengan ringan tubuhnya hinggap di atas tanah.
Gafur melakukan hal serupa. Bahkan gerakannya
membuat Tekuk Penjalin tercekat.
Cepat bagai kilat namun indah bagaikan
sehelai daun kuning jatuh ke tanah.
“Nah, majulah anak muda !” tantang Tekuk
Penjalin.
Gafur memang bermaksud segera menyudahi
pertempuran itu. Ia merasa kasihan pada para penduduk desa yang terus menerus berjatuhan
karena kalah pengalaman dibanding kawanan perampok yang asalnya memang dari pasukan
tempur kerajaan Majapahit.
Tanpa basa basi lagi Gafur mengerahkan
ilmunya. Ilmu silat yang berasal dari Perguruan Al-Karomah. Tekuk Penjalin langsung roboh
terjungkal ke tanah. Nafasnya terengah-engah.
Mulutnya mengeluarkan darah segar. Beberapa
bagian tubuhnya nampak matang biru.
Melihat kenyataan itu. Julung Pujud yang
sudah naik ke atas punggung kuda menjadi kecut hatinya. Ia menggiring kudanya secara
diam-diam untuk menjauhi arena pertarungan. Rupanya Julung Pujud bersiap-siap hendak melarikan
diri jika ternyata pihaknya menderita kekalahan.
“Ilmu setan ……….!” Desis Tekuk Penjalin
dengan pandang mata penasaran.
“Andika keliru !” sahut Gafur sembari
melangkah mendekati Tekuk Penjalin yang terkapar tanpa dapat bangun lagi.” Kami bahkan sangat
membenci ilmu setan. Ilmu yang barusan kupergunakan tadi adalah ilmu Pencak Silat
Karomah.”
“Kau berasal dari perguruan mana ?”
Garawesi !” Sahut Gafur menoleh ke arah
penduduk yang masih terus bertempur dengan kawanan perampok.
Kemudian berpaling dan mendekati ke arah
Tekuk Penjalin.
“Cepat perintahkan anak buahmu untuk menyerah
!” Bentak Gafur dengan pandang mata mencorong.
Tekuk Penjalin hanya diam saja. Gafur jadi
gelisah. Ia melangkah makin dekat. Sepasang kakinya berdiri di sisi tubuh Tekuk Penjalin
yang terkapar. “Jika kau tak mau perintahkan anak
buahmu menyerah, maka sekali kuinjakkan
kakiku ke dadamu, pasti kau akan mati !” ancamnya tanpa main-main.
Tekuk Penjalin masih tak mau buka suara.
Sepasang matanya memandang Gafur dengan penuh penasaran. Rasanya dia masih belum percaya
jika telah dirobohkan pemuda itu hanya dalam tiga kali gebrakan. Benar-benar mustahil.
Tapi kenyataan telah membuka pandangan hidup
bahwa seolah-olah di dunia ini tidak ada
orang sakti selain dirinya.
“Cepat ! perintahkan anak buahmu untuk
menyerah ! “ Ancam Gafur dengan hati galau. Kini ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Siap
dihantamkan ke dada Tekuk Penjalin.
Tekuk Penjalin sendiri masih bungkam. Hatinya
bergolak, “Bertahun-tahun aku mengembara. Ingin bertemu dengan tokoh silat tingkat
tinggi, kini tokoh itu ternyata hanya seorang anak muda. Aku kecewa, daripada hidup menanggung
malu, lebih baik aku mati ditangannya.”
Tanpa diduga oleh Gafur, tiba-tiba Tekuk
Penjalin menggerakkan mulutnya. Bukan untuk memberi perintah agar anak buahnya menyerah.
Melainkan justru meludahi wajah Gafur yang hendak menginjak dadanya.
“Juhhhhh .......... !”
Gafur tak sempat mengelak. Ludah itu menempel
di wajahnya. Seketika wajahnya yang putih bersih berubah jadi merah padam pertanda
marah.
Sepasang tangannya terkepal erat. Kaki
kanannya bergetar hebat menahan amarah. Sekali injak tentu ambrol dada Tekuk Penjalin. Melihat
wajah Gafur yang merah membara itu tergetarlah
hati Tekuk Penjalin, bagaimanapun sebenarnya
dia tidak rela mati begitu saja. Kini lenyaplah kepongahan hatinya. Berubah jadi kecut dan
ciut. Wajahnya seketika berubah jadi pucat pasi.
“Kali ini tamatlah riwayatku .......” Desis
Tekuk Penjalin melihat kaki kanan Gafur diangkat tinggi-tinggi. Siap menggempur dadanya.
Tiba-tiba terjadilah keanehan. Gafur
mengrungkan niatnya menghantam dada Tekuk Penjalin dengan kakinya. Dia menarik kaki kanannya dan
berdiri dengan sikap biasa. Terdengar ia menyebut ,
“Astaghfirullah ..”
Wajahnya yang tadi merah pedam karena dialiri
darah amarah yang menggelegak mendadak berubah lagi jadi putih bersih. Perlahan dia
membersihkan ludah Tekuk Penjalin yang menempel di wajahnya.
“Mengapa ? mengapa aku tak jadi kau bunuh ?”
tanya Tekuk Penjalin keheranan.
“Karena tadi kau telah membuatku marah !”
jawab Gafur datar.
“Aku tidak boleh menghukum orang dalam
keadaan marah. Itu termasuk dosa !”
“Kenapa berdosa ?” ujar Tekuk Penjalin masih
penasaran.” Bukankah aku ini perampok jahat yang pantas di bunuh ?”
“tadi .......... “kata Gafur.” Sebelum kau
meludahiku dan sebelum aku marah. Aku boleh membunuhmu karena niatku membunuhmu adalah
untuk jihad fi sabilillah, memerangi kejahatan. Tetapi setelah kau meludahi, maka
hatiku jadi marah. Yang marah adalah aku pribadi. Karena diri pribadiku tersinggung.
Sedangkan aku tak boleh mencampur adukkan antara kepentingan pribadi dengan niat
berjuang di jalan Allah. Saat aku marah hatiku sudah menyeleweng dari jalan Allah, jadi aku akan
menanggung dosa besar jika membunuhmu atas
dasar kebencian pribadi. Bukan atas dasar
perang di jalan Allah, yang sesuai dengan ajaran agamaku !”
Tekuk Penjalin tertegun. Hatinya bergolak.
“Betapa luhur ajaran agamamu, apakah nama
agama yang kau anut itu ?” tanya Tekuk Penjalin.
“Islam !” jawab Gafur. “Islam artinya
selamat. Siapa yang memeluk agama Islam dia akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat.”
“Aku ………. adalah bekas perwira Majapahit yang
membelot dan menjadi pemimpin rampok.
Kejahatanku bertumpuk-tumpuk, apakah Tuhanmu
masih mau mengampuniku ?” tanya Tekuk Penjalin.
“Kenapa tidak ?” Sahut Gafur.
“Misalkan
dosamu setinggi gunung sepenuh langit dan bumi.
Namun kalau kau masuk agama Islam, dan
bertobat secara sungguh-sungguh. Artinya kita tidak akan mengulangi perbuatanmu yang jahat,
menggantinya dengan perbuatan baik, maka Tuhan akan mengampunimu. Dosa-dosa di masa lalu
akan dihapus semua.”
“Benarkah begitu ?” sahut Tekuk Penjalin
ragu.
“Aku bicara apa adanya. Dusta adalah suatu
dosa !” sahut Gafur.
Tiba-tiba Tekuk Penjalin berusaha bangkit
untuk berdiri. Karena tubuhnya masih lemah maka ia segera roboh lagi. Gafur cepat menyambarnya.
Sementara itu, pertempuran antara penduduk
desa dengan kawanan perampok masih
berlangsung seru. Tiba-tiba terdengar bentakan yang membahana.
“Berhenti... ! Hentikan pertempuran...!!!”
Semua orang terkejut dan segera menghentikan
pertempuran. Ternyata bentak itu berasal dari Tekuk Penjalin. Dia berdiri tegak di samping
Gafur. Gafur telah menolong Tekuk Penjalin sehingga tubuhnya kembali segar bugar seperti
semula.
“Dengarkan ! Mulai sekarang kutinggalkan
dunia kejahatan. Aku tak mau lagi hidup bergemilang dosa. Hari ini juga aku masuk agama Islam dan menjadi pengikut saudara Gafur Satria Mega Pethak !”
Semua orang terkejut mendengar perkataan itu.
Baik dari kalangan penduduk desa maupun para perampok itu sendiri. Sementara bagi Julung Pujud ucapan Tekuk Penjalin itu bagaikan
petir menyambar di telinganya. Jika Tekuk
Penjalin yang tadinya andalan gerombolannya sudah menyeberang ke pihak lain, maka tamatlah
riwayatnya. Tekuk Penjalin menatap wajah seluruh anak buahnya.
“Kalian boleh pilih, tetap menjadi gerombolan
perampok dengan risiko diburu petugas pemerintah Majapahit dan dimusuhi seluruh
rakyat atau hidup baik-baik, bertobat dan membaur dengan masyarakat ?!”
Tiga belas perampok itu sekarang tinggal sepuluh. Tiga rekannya telah mati di tangan penduduk desa. enam orang langsung
membuang senjatanya ditanah begitu mendengar seruan Tekuk Penjalin.
empat lainnya berlari ke arah kudanya
masing-masing dan bergerak menuju Julung Pujud.
“Ki Tekuk Penjalin ! Tidak sudi kami mengikuti
jejakmu. Biarkan kami menempuh jalan kami sendiri !”
“Terserah kalian !” sahut Tekuk Penjalin. “Tapi
jangan coba-coba mengganggu desa ini lagi.
Bila itu kalian lakukan maka aku sendiri yang
bakal membasmi kalian !”
“Ha ha ha ha .......... !” Julung Pujud
tertawa keras. “Mari anak buahku yang jantan !” kita tinggalkan Tekuk Penjalin yang telah menjadi
banci !”
Julung Pujud mendahului memacu kudanya keluar
desa. Diikuti empat orang anak buahnya yang tidak mau menerima fitrah kebenaran abadi.
Beberapa penduduk desa yang masih merasa geram dan dendam segera menendang dan
memukuli enam perampok yang telah menyerah,
duduk bersimpuh di atas tanah tanpa
mengadakan perlawanan sama sekali.
Gafur segera membentak ke arah penduduk desa,
“Hentikan ! tidak pantas menyerang orang yang sudah menyerahkan diri !”
“Mereka sudah membujuk teman-teman kami !”
protes penduduk.
“Serahkan mereka padaku. Aku akan mengurusnya
!”
jawab Gafur dengan suara berwibawa.
Kemudian ia memberi isyarat kepada seluruh
penduduk untuk berkumpul. Ki Tekuk Penjalin dan anak buahnya duduk bersimpuh di belakang
Gafur, menghadap ke arah penduduk desa yang segera berkumpul di hadapan Gafur.
“Sudah kalian saksikan sendiri, “Gafur
membuka suara.
” Muslim yang kuat lebih disukai Allah.
Dengan adanya kekuatan kita dapat
mempertahankan diri dari pemaksaan kehendak orang lain,
itulah sebabnya para pemuda di desa ini
kuajari ilmu pencak silat di samping belajar ilmu agama !”
Demikianlah, secara panjang lebar Gafur
memberikan bimbingan kepada penduduk setempat untuk mengenal dan memperdalam agama Islam.
Bukan hanya sekedar ceramah saja. Melainkan dibuktikan dengan perbuatan nyata. Gafur
adalah murid si Kakek Bantal yang ditugaskan membina desa-desa tertinggal, dan masyarakat
yang belum mengenal Islam. Dia membantu para penduduk untuk meningkatkan taraf
kehidupannya dengan cara membimbing mereka bertanam padi dengan cara yang lebih baik.
Dengan ilmu pengobatan yang dipelajari dari gurunya ia juga telah banyak menolong para
penduduk yang menderita sakit.
Penduduk setempat akhirnya menaruh simpati.
Di saat itulah Gafur baru menawarkan dan mengenalkan keindahan dan keluhuran agama
Islam kepada mereka. Tekuk Penjalin dan anak buahnya dibina di desa itu. Akhirnya mereka
menjadi orang baik-baik dan menjadi pelindung
desa dari rongrongan para perampok.
Itulah cara dakwah yang ditempuh oleh Gafur
yang oleh Tekuk Penjalin disebut sebagai Satria Mega Pethak atau Satria Awan putih. Seputih
hati dan sebersih jiwa pemuda dalam menempuh perjalanan hidupnya.
Gafur sangat toleran terhadap kepentingan
pribadi, patuh terhadap ajaran agama.
Teguh menjauhi kemungkaran dan tiada
henti-hentinya menegakkan kebenaran yang dinodai sekelompok orang tak bertanggung jawab. Gafur
hanyalah salah satu di antara sekian banyak murid Kakek Bantal yang tinggal di Garawesi
atau Gresik. Lalu siapakah si Kakek Bantal itu.
“Ya, siapakah sebenarnya Guru saudara Gafur
yang disebut Kakek Bantal itu ?” tanya Tekuk Penjalin pada suatu hari.
Gafur tersenyum lalu menjawab,
“Kakek Bantal
adalah seorang ulama besar dari Negeri Seberang. Beliau tinggal di Jawa, tepatnya di
Gresik. Bantal artinya Bumi. Disebut demikian karena beliau mampu membaur dengan penduduk
setempat sehingga boleh dikatakan sudah membumi dengan lingkungan dan masyarakat
sekitar. Ada pula yang mengatakan Bantal adalah
bantal untuk alas tidur, sebab beliau sangat
berilmu tinggi. Petuah dan nasehatnya melegakan semua orang yang mendengarkannya sehingga
hati dan jiwa menjadi tenang, setenang saat mereka tidur nyenyak diatas bantal empuk.”
(bersambung)
sumber:http://dimhad.6te.net.
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Judul : Kisah Wali Songo "Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim"
Ditulis Oleh: Unknown
Jika ada yg perlu disampaikan,atau yg perlu ditanyakan pada artikel ini
Judul : Kisah Wali Songo "Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim"
Ditulis Oleh: Unknown
Jika ada yg perlu disampaikan,atau yg perlu ditanyakan pada artikel ini
Kisah Wali Songo "Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim"
silahkan hubungi saya Yusrian di 08152021972,bb 56bc52d5 08121313704,Salam Baitulloh...
No comments:
Post a Comment