Thursday, April 21, 2016
Pdf "kisah Wali Songo"-sunan gresik"MAULANA MALIK IBRAHIM'.
2. Menanti Tetes Air
Sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit
mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu pernah dipersatukan
Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara terang-terangan maupun dengan
sembunyisembunyi. Namun demikian Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau
Jawa.
20
Wibawanya masih terasa kuat di dunia luar, walaupun sesungguhnya dari dalam kerajaan itu
sudah sangat keropos. Perang saudara antara kerabat istana tiada henti-hentinya. Rakyat
menjadi korban. Kesengsaraan dan bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Kesetiaan para
pembesar dan bupati mulai menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja.
Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan, perampokan dan pencurian.
Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang melepaskan diri dan beralih profesi
sebagai gerombolan perampok yang menjarah harta benda kaum bangsawan dan rakyat jelata.
Karena tak ada jaminan stabilitas keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam
mengolah lahan pertanian mereka. Akibatnya bahaya kelaparan melanda di mana-mana.
Ditambah adanya musim kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi jadi semakin
menggenaskan.
Di saat demikian sesekali si Kakek Bantal dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan
langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat.
Pada suatu hari Kakek Bantal dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa yang teramat
gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang terinjak sangat kering, tak
ada rerumputan sama sekali.
Mereka terus berjalan hingga tiba di suatu tanah lapang yang cukup luas. Di tengah-tengah
tanah lapang itu nampak puluhan penduduk sedang berkerumun. Mengelilingi dua orang
pemuda bertubuh kurus sedang berlaga. Dua orang pemuda itu hanya mengenakan celana,
tubuh bagian atasnya terbuka. Mereka saling memukulkan sebatang rotan ke punggung masingmasing.
Setiap pukulan nampaknya disertai tenaga yang sangat kuat sehingga punggung yang
terkena menjadi matang biru bahkan ada beberapa dari melintang yang penuh darah.
Terus menerus kedua pemuda itu saling menghantamkan rotan ditangannya. Hingga kedua
punggung anak muda itu penuh luka yang melepuh. Beberapa lelaki yang mengelilinginya
menabuh gending untuk memberi semangat. Hingga pada akhirnya kedua pemuda itu roboh ke
tanah dalam keadaan pingsan.
Irama gending segera berhenti.
Seorang pendeta berpakaian kuning, yang agaknya menjadi ketua adat segera memberi
perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar arena. Kemudian pendeta itu menuding ke
arah seorang gadis yang sedang dicekal kedua lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh kekar.
“Bawa kemari anak perawan itu !” Teriak sang pendeta.
21
Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di
tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.
“Jangan ! Jangan bunuh aku !” teriak gadis itu ketakutan. Dia berusaha berontak, namun
tenaganya kalah kuat dibanding ke dua lelaki bertubuh kekar yang mencekal dan menyeretnya
dengan paksa.
Si gadis yang sudah diberi pakaian putih segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki
memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta ketakutan.
Kakek Bantal makin tertarik, ia kelima muridnya makin mendekati kerumunan orang itu. Kini
sang pendeta mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi sembari mendongkak ke atas langit.
“Wahai Dewa Hujan ! Terimalah perembahan kami ! Hentikan kemarau panjang ini. Curahkan
limpahan airmu ke bumi yang gersang ini !” Demikian teriaknya berkali-kali. Si pendeta tua
segera mendekati si gadis dengan senyum menyeringai. Ia melemparkan tongkatnya lalu
mencabut belati dari balik pinggangnya.
Hai perawan suci, serahkan dirimu dengan rela kepada Dewa Hujan. Sederas darah yang keluar
dari jantungmu sederas itu pula hujan yang akan diturunkan oleh sang Dewa. Pengorbanan mu
tidak akan dilupakan oleh seluruh penduduk desa ini !”
“Jaj ...... jangan ...... ! Aku tidak mau ...... !” rintih si gadis cantik dengan tubuh gemetar
ketakutan.
“Diam !” bentak lelaki berwajah seram yang memegangi tangan si gadis. Wajah si gadis
langsung mengkeret, pucat pasi.
“Ayo kita mulai !” kata sang pendeta. Keempat lelaki yang memegangi sepasang tangan dan
kaki si gadis makin mempererat cekalannya. San pendeta mendekati altar persembahan.
Ia mengangkat belati itu di atas dada si gadis. Tepat di atas jantungnya. Agaknya ia hendak
menikam jantung si gadis cantik dengan belati itu.
“Berhenti !” tiba-tiba terdengar seruan lembut namun jelas terdengar oleh semua orang.
22
Kakek Bantal dan kelima orang muridnya menerobos kerumunan orang. Langsung menghampiri
si pendeta yang memegang belati, siap dihujamkan ke jantung si gadis. “Untuk apa gadis ini
dikorbankan ?” tanya Kakek Bantal.
Kami mengharap turunnya hujan !” sahut sang Pendeta dengan nada ketus. Dia sangat tidak
suka atas kedatangan Kakek Bantal itu.
“Hujan ?” tanya Kakek Bantal. “Mengharap hujan dengan mengorbankan seorang gadis gadis
cantik ?”
“Ya, hanya dengan mengorbankan gadis itu kepada Dewa Hujan maka kami akan mendapat
air.” Sahut sang pendeta.
“Sudah berapa kali acara seperti ini dilakukan ?” tanya Kakek Bantal lagi. Sang pendeta tidak
segera menjawab. Dia tidak suka urusannya dicampuri orang lain. Maka ia segera memberi
isyarat agar kedua orang kaki tangannya yang bertubuh kekar untuk mengusir Kakek Bantal.
Dua orang bertubuh kekar segera menghunus goloknya masing-masing lalu menghampiri Kakek
Bantal. Tanpa basa-basi mereka langsung mengayunkan goloknya untuk membelah kepala
Kakek Bantal.
Namun sungguh aneh. Saat keduanya mengangkat golok, tiba-tiba gerakannya terhenti. Mereka
berdiri kaku dengan golok di tangan sedang terangkat tinggi-tinggi. Sang pendeta terbelalak
menyaksikan hal itu.
Namun ia tak mau rencananya berantakan. Segera ditikamnya belati yang dipegangnya ke
jantung si gadis cantik. Namun ia berteriak kaget. Tangannya tak dapat digerakkan untuk
meluncurkan belati itu ke dada si gadis.
“Kau ...... ? Kau ...... ?” teriak sang pendeta sembari menuding ke arah Kakek Bantal.” Mau
apa kau mengganggu jalannya upacara ini ?”
23
Kakek Bantal dan kelima muridnya maju ke tengah arena.
“Maaf kisanak, sudah berapa kali kau korbankan gadis-gadis suci itu kepada Dewa Hujan ?”
tanya Kakek Bantal.
“Sudah dua kali !” jawab pendeta dengan sengit.
“Hem, dua kali, “ulang Kakek Bantal.” Jadi sudah dua jiwa melayang sia-sia !”
“Pengorbanan mereka tidak sia-sia, “Tukas pendeta tua.
“Apakah dengan mengorbankan kedua gadis tadi hujan sudah turun ke desa ini ?” tanya Kakek
Bantal.
Pendeta tua tidak segera menjawab, tetapi orang yang berkerumun tanpa dapat dicegah lagi
menjawab dengan serentak, “Belum …… “.
Wajah sang pendeta nampak jadi beringas mendengar jawaban orang-orang desa itu. Dengan
lantang ia berkata, “Hujan belum turun karena pengorbanan baru dilakukandua kali. Dewa
Hujan akan menerima pengorbanan yang dipersembahkan tiga kali. Barulah sesudah itu hujan
akan diturunkan !”
Bagaimana jika pengorbanan dilakukan ketiga kalinya tetapi hujan belum turun juga? Tanya
Kakek Bantal.
Merah padam wajah sang pendeta. Dia memberi isyarat kepada dua lelaki kekar dibelakangnya
untuk meringkus Kakek Bantal yang dianggapnya sebagai pengacau. Dua lelaki itu, yang
agaknya adalah pengikut setia sang pendeta segera bergerak maju. Mereka bermaksud
menghajar Kakek Bantal hingga babak belur. Tapi sungguh aneh, sepasang kaki mereka tibatiba
terasa kejang tanpa ada sebabnya. Keduanya melolong kesakitan sembari memegangi
pahanya.
24
“Kau bermaksud menentang kami hai orang asing !” bentak pendeta tua.” Kau sengaja
mengganggu upacara kami !”
“Aku tidak bermaksud mengganggu. ujar Kakek Bantal. “Aku dan kelima muridku bermaksud
menolong orang-orang desa ini.”
“Puih !” pendeta tua meludah sambil bertolak pinggang.” Apa yang dapat kau berikan kepada
warga desa ini ?”
“Apa yang kalian inginkan dari kami ?” Kakek Bantal balik bertanya.
“Hujan ! Kami minta hujan !” jawab para penduduk desa serentak.
“Cuma hujan ?” ujar Kakek Bantal.
Huh !” Dengus pendeta tua.” Lagak bicaramu seolah dunia ini berada dalam genggamanmu !
Coba turunkan kalau kau bisa. Tapi ingat, jika kau gagal melakukannya maka kami tak segansegan
akan membunuhmu, karena kau berani mengganggu upacara kami !”
“Jika Allah mengijinkan maka hujan pun akan segera turun !” kata Kakek Bantal dengan
tenang.
“Allah ? Siapa Allah ?” tanya pendeta tua.” Mengapa minta ijin segala kepadanya ?”
“Allah adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Termasuk yang
menciptakan kita semua,” Ujar Kakek Bantal.
“Sudah ! Jangan bicara ! Jika kau memang bisa menurunkan hujan cepat lakukan saja!” bentak
pendeta tua.
25
“Boleh saja, tapi dengan syarat, jika kami bisa menurunkan hujan aras ijin Allah, maka kalian
harus membebaskan gadis itu !” kata Kakek Bantal.
“Untuk apa ?” tukas pendeta tua.” Kedua orang tua gadis itu sudah mati. Dia tak punya sanak
kadang, sudah pantas jika dia terpilih sebagai persembahan untuk Dewa Hujan !”
Kakek Bantal menghadap ke arah kerumunan orang-orang desa, kemudian bertanya, Kalau kami
dapat menurunkan hujan. Maukah kalian membebaskan gadis itu ?”
“Mauuuuu …… !” jawab orang-orang desa dengan serentak.
“Terima kasih,” jawab Kakek Bantal.” Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal
mati kedua orang tuanya disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan,
melainkan harus disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa
Hujan !”
Para penduduk desa nampak tercenung mendengar ucapan Kakek Bantal. Sementara Kakek
Bantal dan kelima muridnya yang selalu berusaha dalam keadaan suci (tak batal wudhu’nya)
segera melaksanakan shalat istisqo’ dan berdoá dengan khusyu’nya.
Tak berapa lama kemudian, langit tiba-tiba berubah menjadi hitam oleh mendung yang
berarak. Dan hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang kering kerontang. Semua
orang yang berkumpul langsung bersorak-sorai kegirangan. Hanya pendeta tua dan keempat
lelaki yang masih memegangi tangan dan kaki gadis yang berdiam diri dalam keangkuhannya.
“Sihir ! Pasti kalian mempergunakan ilmu sihir, “teriak pendeta tua, “Hujan itu tidak nyata,
hanya khayalan saja !”
Kakek Bantal segera menghampiri pendeta tua sembari berkata, “Kisanak, sihir itu terlarang
bagi orang Islam. Kami tidak boleh mempelajarinya apalagi mengamalkannya. Hujan ini adalah
nyata rahmat dari Allah yang menciptakan langit dan bumi !”
(bersambung halaman 26)
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Judul : Pdf "kisah Wali Songo"-sunan gresik"MAULANA MALIK IBRAHIM'.
Ditulis Oleh: Unknown
Jika ada yg perlu disampaikan,atau yg perlu ditanyakan pada artikel ini
Judul : Pdf "kisah Wali Songo"-sunan gresik"MAULANA MALIK IBRAHIM'.
Ditulis Oleh: Unknown
Jika ada yg perlu disampaikan,atau yg perlu ditanyakan pada artikel ini
Pdf "kisah Wali Songo"-sunan gresik"MAULANA MALIK IBRAHIM'.
silahkan hubungi saya Yusrian di 08152021972,bb 56bc52d5 08121313704,Salam Baitulloh...
No comments:
Post a Comment